Tuesday, March 18, 2008

Minyak Tinggi Ekonomi Indonesia Morat-marit

Rekor baru diciptakan pemerintah. Dalam sejarah Indonesia, baru kali ini APBN yang disahkan tiga bulan sebelumnya mesti diubah total. Ini semua berpangkal pada gejolak harga minyak dunia yang melewati angka psikologis US$ 100 per barel. Pemerintah pun mengubah asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price --ICP) dalam APBN yang disahkan Oktober tahun lalu, dari US$ 83 menjadi US$ 85 per barel. Perubahan ini disepakati pemerintah dan Komisi VII DPR, Senin lalu.

Selain mengubah asumsi harga minyak, pemerintah juga menciptkan rekor dalam peningkatan produksi. Pada 2007, produksi minyak Indonesia adalah 910.000 barel per hari. Ini angka terendah dalam 35 tahun terakhir sejarah produksi minyak Indonesia. Tahun ini, pemerintah mendongkrak angka produksi (lifting) menjadi 960.000 barel per hari.

Dua perubahan asumsi itu tentu saja sangat menggembirakan. Sebab, dengan angka-angka tersebut, sisi pendapatan APBN akan naik pesat. Namun, karena konsumsi bahan bakar negeri berpenduduk nomor lima di dunia ini lebih besar dari lifting, sisi pengeluaran pun turut terdongkrak. Tapi asumsi baru itu dinilai banyak pengamat lebih realistis.

Yang juga menjadi masalah, bagaimana pemerintah dalam sekejap bisa mendongkrak produksi minyak hingga 50.000 barel per hari pada 2008 ini? Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, menyodorkan angka produksi dari Lapangan Duri sebanyak 50.000 barel per hari. "Selama ini, produksi Chevron tersebut tidak dihitung sebagai lifting," kata Purnomo, yang mewakili pemerintah dalam rapat kerja dengan anggota dewan.

Bagaimanapun, pemerintah dan DPR telah sepakat mengubah asumsi di APBN. Wacana perubahan asumsi harga minyak mentah dalam APBN 2008 itu sebenarnya sudah menyeruak pada awal Desember lalu. Pemicunya apa lagi kalau bukan harga emas hitam yang sempat menyentuh US$ 99,3 per barel, akhir November 2007. "Jika harga minyak mencapai US$ 100 per barel, semua asumsi APBN 2008 berubah," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, ketika itu.

Bahkan, meskipun angka psikologis US$ 100 per barel belum tembus, toh pasang kuda-kuda telah diambil. "Tapi harus (tetap) diantisipasi," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Boediono.

Benar, pemerintah pun memutuskan untuk mengubah APBN 2008. Padahal, pada 9 Oktober lalu baru disahkan DPR. Sejak itu, wacana soal APBN Perubahan 2008 terus santer dibahas. Isu paling menonjol adalah asumsi harga minyak dalam RAPBN-P 2008. Asumsi tersebut begitu penting karena menyangkut subsidi bahan bakar minyak, listrik, inflasi, dan defisit anggaran yang harus dikelola pemerintah dengan cerdik.

Dalam APBN 2008, pemerintah mematok harga minyak mentah US$ 60 per barel. Padahal, harga minyak mentah dunia terus bertengger di kisaran US$ 90 per barel. Pemerintah sendiri menjadi lebih realistis ketika mengusulkan asumsi harga minyak US$ 83 per barel pada 8 Februari lalu. Sedangkan lifting-nya sebanyak 910.000 barel per hari.

Nah, kesepakatan pemerintah dengan DPR mengenai asumsi harga minyak mentah menjadi US$ 85 per barel, Senin lalu, dinilai makin realistis. Pasalnya, dalam sepekan lalu, harga minyak bertengger di atas US$ 100 per barel.

Di Bursa New York, Jumat pekan lalu, minyak sempat dijual US$ 103,05 per barel sebelum ditutup pada level US$ 102,20 per barel. Minyak jenis brent di Bursa London dijual US$ 100,32 per barel. Kemudian, dalam perdagangan di Bursa New York, Senin lalu harga minyak mendekati rekor US$ 104 per barel. Sedangkan jenis brent pada perdagangan Selasa pagi dijual US$ 100,12 per barel.

Melonjaknya harga minyak hingga di atas US$ 100 per barel, menurut Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies, Kurtubi, bukan anomali. Sebab, pada triwulan pertama 2008, permintaan minyak dunia masih tinggi, yakni 88 juta barel per hari. "Karena belahan bumi utara sedang musim dingin," katanya.

Apalagi, negara-negara OPEC tampaknya enggan menambah produksi minyak. Meski, berbagai desakan pada OPEC untuk menaikkan produksi berdatangan dari banyak kalangan, seperti Presiden dan Menteri Energi Amerika Serikat serta sejumlah negara industri maju.

"Namun OPEC tidak akan mau menambah produksi," ujar Kurtubi. Selain secara fundamental pasar sangat ketat, muncul pula isu geopolitik, seperti pemberontakan di Nigeria serta konflik antara ExxonMobil dan Venezuela. Kejadian itu membuat harga terdorong naik. "Suplai pun mengalami gangguan," katanya.

Nilai dolar Amerika, yang anjlok dibandingkan dengan euro, turut mengatrol harga minyak. "Negara OPEC merasa pendapatannya digerogoti," katanya lagi. Sebab OPEC mengekspor minyak dalam bentuk dolar. Padahal, nilai euro lebih tinggi dibandingkan dengan dolar. Karena itu, negara-negara OPEC merasa akan rugi sehingga tidak mau menaikkan produksi.

Organisasi negara-negara pengekspor minyak itu sebenarnya akan bertemu di Wina, Austria, mulai Rabu pekan ini. Namun bukan untuk merencanakan kenaikan produksi. Yang menjadi pembicaraan malah menurunkan produksi. "Saya tidak berpikir OPEC akan menaikkan produksi. Sebab kami akan meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan. Namun itu tak terjadi," kata Presiden OPEC, Chakib Khelil, Selasa lalu, seperti dikutip BBC.

Data yang dikeluarkan Pemerintah Amerika Serikat pekan ini memperlihatkan kecukupan pasokan minyak mentah dan bahan bakar untuk pasar domestik. Apalagi, pada triwulan kedua 2008, diperkirakan permintaan minyak turun karena berakhirnya musim dingin. Nah, bila permintaan turun, OPEC akan menurunkan produksinya.

Sementara ini, harga minyak dunia yang ideal di pasar dari sisi OPEC adalah US$ 100 per barel. Pada saat ini, OPEC memasok 40% kebutuhan minyak dunia, dengan mematok kuota produksi 29,67 juta barel per hari. "Harga itu yang bisa diterima OPEC, khususnya Venezuela," katanya.

Tingginya harga minyak dunia jelas berdampak pada APBN, terutama menyangkut subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan defisit anggaran. Menurut Kurtubi, kenaikan harga minyak ini akan memperbesar defisit negara. Imbas yang dirasakan, PLN harus membayar BBM dengan harga mahal. Begitu pula perusahaan penerbangan, yang dipaksa menaikkan harga tiket karena beban BBM untuk pesawat bertambah. "Yang beli tiket pesawat bisa turun," ujarnya.

Melambungnya harga minyak juga berdampak pada pembangunan infrastruktur. Kurtubi menilai, pemerintah tak akan mampu membiayainya. "Anggarannya sedikit," katanya. Kesempatan kerja pun berkurang karena kemampuan APBN menciptakan lapangan kerja menurun. "Apabila pemerintah tidak hati-hati, banyak usaha yang bakal gulung tikar," ia menegaskan.

Pengamat perminyakan Dirgo Purba mengatakan, semua kegiatan ekonomi bergantung pada minyak. "Jadi, kalau harga minyak naik, semua komoditas pasti akan naik," ujarnya. "Ini hukum ekonomi yang paling dasar," ia menambahkan.

Menurut Dirgo, negara penghasil minyak tidak akan menaikkan kapasitas produksinya. "Karena mereka telah memaksimalkan produksi," katanya. Ia bahkan menilai, filosofi OPEC sebagai stabilisator harga tak lagi berlaku. "Karena semua negara itu sudah mencapai titik maksimal produksi," ujarnya. Begitu pula Indonesia. "Mau di-obok-obok, tetap saja tidak mampu menambah kapasitas produksi," ungkapnya.

Dirgo menilai, tidak ada harga ideal untuk minyak dunia. "Harga mengikuti hukum pasar yang paling dasar, yakni supply and demand," katanya. Kini faktor yang menentukan turunnya harga minyak dunia, menurut Dirgo, adalah Amerika. Sebab konsumsi minyak di Amerika tertinggi, yakni sekitar 22 juta barel per hari. "Kalau Amerika menurunkan konsumsinya, permintaan akan menurun," tuturnya. Namun hal ini sulit terjadi, karena masyarakat Amerika sangat liberal sehingga tak akan mungkin mau menghemat.

Dampak terbesar kenaikan harga minyak, kata Dirgo, sebanyak 70% berimbas pada perusahaan penerbangan. "Ongkos produksi akan naik karena bahan bakar mahal," katanya. Kini, salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah adalah menjaga stabilitas atau penguatan nilai rupiah. Jadi, harus membuat rupiah menguat sehingga harga listrik, BBM, telepon, dan sebagainya menjadi murah. "Segala transaksi pun harus dilakukan di Indonesia, tidak di luar negeri," ujarnya.

G.A. Guritno dan Rach Alida Bahaweres
[Laporan Utama, Gatra Nomor 17 Beredar Kamis, 6 Maret 2008]

No comments: